APAKAH KEPERCAYAAN BERLAKU PADA PEMIKIRAN EKONOMI?

Kepercayaan adalah komponen penting dari masyarakat dan sistem ekonomi yang sehat. Tetapi bagaimana cara memahaminya? Sementara literatur ekonomi cenderung melihat kepercayaan sebagai perhitungan rasional. Sulit membayangkan masyarakat global dewasa ini berkembang dengan sedikit atau tanpa kepercayaan: perusahaan, pemerintah, dan sistem moneter semuanya memerlukan tingkat kepercayaan minimum agar bisa berjalan dengan baik. Kepercayaan, adalah suatu kebutuhan sosial yang penting bagi masyarakat global untuk berkembang, dan para pembuat kebijakan sangat disarankan untuk memupuknya.
Memahami bagaimana kepercayaan bekerja adalah sebuah tantangan yang cukup rumit. Cabang ekonomi eksperimental, telah berusaha untuk membawa pencerahan ke fenomena ini selama dua dekade terakhir. Namun, sampai hari ini, kepercayaan tetap menjadi teka-teki bagi para ekonom. Tidak seperti teologi yang mempunyai beberapa wacana penting tentang kepercayaan.
Pada masa Gereja Awal ada semacam ajaran tentang kesamaan, si kaya bahkan rela menjual properti dan harta benda untuk diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Interpretasi cenderung menampilkan komunitas yang diidealkan ini sebagai inspirasi untuk redistribusi sumber daya yang lebih adil. Di ajaran Islam ada “zakat” dimana ada pandangan bahwa di sebagian harta kita ada hak orang-orang yang membutuhkan, sehingga penganutnya wajib mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk orang-orang ini, yaitu orang-orang tidak mampu dan orang-orang yang sedang berjuang di jalan Tuhan. Kepercayaan pada Tuhan seharusnya menjadi faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan ekonomi karena dapat memungkinkan individu untuk bertindak untuk yang lebih baik.
Hal ini sangat berbeda dengan penggambaran kepercayaan dalam literatur ekonomi, di mana keputusan untuk mempercayai adalah hasil dari perhitungan rasional berdasarkan dua pertimbangan utama: pertama, kepercayaan yang dirasakan dari mitra, dan, kedua, apakah keuntungan finansial dari kepercayaan sepadan dengan risikonya.
Prediksi standar ekonom adalah bahwa individu tidak akan mempercayai orang lain kecuali mereka memiliki insentif untuk dapat dipercaya. Dengan kata lain, jika mereka terbukti dapat dipercaya, itu karena mereka merasionalisasi bahwa dianggap sebagai dapat dipercaya akan melayani mereka lebih baik; Kepercayaan hanya rasional jika dapat merangkum kepentingan pihak lain.
Tetapi eksperimen ekonomi dan psikologis telah menunjukkan bahwa prediksi tersebut kurang akurat: Pertama, orang cenderung percaya bahkan ketika tidak sepenuhnya rasional, walaupun tidak ada hubungan tertentu di antara individu. Kedua, orang berharap untuk dipercaya, dan dalam kasus-kasus di mana mereka tidak merasa cukup dipercaya, mereka cenderung membalas dengan bertindak seolah-olah mereka tidak dapat dipercaya. Ketiga, orang-orang yang paling mudah percaya juga terbukti menunjukkan kebaikan tanpa syarat kepada orang lain. Keempat, orang lebih berani mengambil risiko dengan mempercayai orang asing daripada melalui undian, bahkan jika peluang menerima uang kembali sama saja. Semua titik kepercayaan ini dirasakan dan dimaknai sebagai keputusan moral daripada perhitungan rasional murni.
Para ahli ekonomi cenderung menggambarkan perilaku seperti itu sebagai pemaksimalan utilitas yang pada akhirnya adalah tindakan egois. Tetapi bagi teolog, tindakan untuk mempercayai adalah keputusan etis. Jika kepercayaan dapat mengarah pada kebaikan bersama, maka harus dikejar. Kepercayaan menjadi pilihan kebiasaan dalam menghadapi ketidakpastian daripada perhitungan murni. Seorang individu memilih untuk percaya bahkan itu berarti mengambil risiko, dan dalam arti tidak rasional dalam pandangan seorang ekonom.
Akar perbedaan dari kedua paradikma ini bermula dari pemodelan pengambilan keputusan. banyak teori ekonomi bersifat deterministik karena kebutuhan untuk menangkap perilaku manusia melalui model matematika, sedangkan ahli teologi jauh lebih mampu menjelaskan kebebasan kehendak. Kenyataannya tentu saja jauh lebih mungkin berada di tengah, paling tidak karena keputusan kita bergantung pada pola yang dipelajari. Tetapi bagi pembuat kebijakan perlu mengetahui batas-batas studi ekonomi yang mereka gunakan untuk membuat keputusan, dan kepercayaan adalah contoh utama dari itu.