Cashless Society: Apakah Gen Alpha Siap dengan Ekonomi Tanpa Uang Fisik?

Sekarang ini, kalian dapat membeli kopi atau berlangganan ke aplikasi streaming bisa dilakukan tanpa mengeluarkan uang selembar pun. Semuanya serba digital, mulai dari QRIS, dompet elektronik atau e-wallet, dan praktik “buy now, pay later” (paylater) yang semakin marak di kalangan anak muda. Menurut data Bank Indonesia (2024), Indonesia sedang bergerak menuju masyarakat cashless society, sebagaimana dibuktikan oleh pertumbuhan 20,7% penggunaan transaksi digital dari dua tahun terakhir. Di balik kenyamanan ini, kebijakan moneter masih terus beradaptasi untuk memenuhi tuntutan era digital. Namun, apakah Gen Alpha, generasi termuda saat ini, benar-benar siap untuk hidup tanpa uang fisik? Apakah mereka paham bagaimana cara mengelola uang di dunia yang semakin terdigitalisasi?
Cashless Society dan Peran Kebijakan Moneter
Cashless society bukan sekadar tren, melainkan transformasi ekonomi yang didorong oleh kebijakan moneter. Digitalisasi sistem pembayaran sedang dipercepat oleh pemerintah dan lembaga sentral seperti Bank Indonesia. QRIS dan BI-Fast, misalnya, memungkinkan transaksi menjadi lebih cepat dan efektif. Beberapa negara, seperti Swedia, bahkan hampir sepenuhnya meninggalkan uang tunai. Menurut perkiraan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada tahun 2023, terjadi peningkatan 32% jumlah orang yang menggunakan dompet digital di Indonesia.
Tujuan dari strategi moneter digital ini adalah untuk mempercepat inklusi keuangan, menurunkan biaya pencetakan uang, dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Namun demikian, terlepas dari kemudahan ini, ada tantangan besar, terutama bagi generasi muda yang belum memiliki kesadaran finansial yang kuat.
Gen Alpha dan Kebiasaan Penggunaan Uang Digital
Gen Alpha lahir di era digital dan telah akrab dengan dompet elektronik sejak kecil. Mereka melihat orang tua mereka menggunakan ponsel untuk melakukan pembayaran, dan mereka bahkan menerima saldo digital sebagai uang jajan. Menurut survei Luca Bionducci pada tahun 2023, 65% anak muda di Asia Pasifik yang berusia antara 10 hingga 17 tahun sudah terbiasa bertransaksi secara digital, baik untuk pembelian game, makanan, atau langganan layanan hiburan.
Namun, kemudahan ini membawa tantangan: apakah mereka memahami konsep uang sebenarnya? Gen Alpha tumbuh di lingkungan di mana segala sesuatu dapat "dibayar nanti" dengan paylater, berbeda dengan Gen Z yang masih sempat merasakan transaksi secara tunai. Tanpa literasi finansial yang baik, generasi ini bisa terjebak dalam kebiasaan konsumsi impulsif dan kurang memahami risiko utang digital.
Tantangan dan Risiko Cashless Society bagi Generasi Muda
Transaksi cashless memang nyaman dan memberikan kemudahan, ada risiko besar yang mengintai, seperti pencurian data, cybercrime, dan kebiasaan belanja yang berlebihan. Menurut data dari Jeana Chen (2023), 27% kaum muda telah menjadi korban penipuan digital, karena kurangnya kesadaran tentang keamanan siber. Kemudahan tap-to-pay juga membuat anak muda kehilangan kendali atas pengeluaran mereka.
Tanpa edukasi keuangan sejak dini, banyak dari mereka yang tidak memiliki pemahaman tentang konsep budgeting dan utang digital. Fenomena penggunaan paylater yang semakin marak membuat banyak anak muda yang tergoda untuk membeli barang yang mungkin tidak mampu mereka beli di masa depan. Oleh karena itu, edukasi keuangan memainkan peran penting dalam membantu generasi muda untuk mengelola uang mereka dengan bijaksana di era cashless payment saat ini.
Solusi untuk Tantangan Cashless Society bagi Generasi Muda
Untuk mempersiapkan Gen Alpha menghadapi dunia tanpa mata uang fisik, diperlukan inisiatif pendidikan keuangan yang nyata. Literasi keuangan dapat diajarkan di sekolah-sekolah dengan memasukkan ide-ide mendasar seperti investasi, penganggaran, dan peningkatan kesadaran risiko utang digital. Pemerintah telah melakukan program edukasi yang dapat digunakan masyarakat untuk meningkatkan wawasan mereka mengenai uang digital, beberapa program diantaranya yaitu:
1. Edukasi Keuangan OJK (Sikapi Uangmu!). OJK telah membuat program literasi keuangan yang ditujukan untuk kaum muda yang mencakup simulasi investasi dan pelatihan manajemen keuangan pribadi.
2. Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Adalah sebuah program yang mendorong penggunaan pembayaran digital sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan keamanan transaksi elektronik.
3. Sekolah Keuangan Digital Bank Indonesia. Pelajar dan mahasiswa dapat mempelajari cara mengelola keuangan di era digital melalui Sekolah Keuangan Digital Bank Indonesia.
Selain peran pemerintah, orang tua juga dapat mengajarkan anak-anak mereka cara mengelola uang digital secara bijak. Salah satu caranya adalah memberikan uang saku dalam bentuk saldo e-wallet sambil tetap mengawasi penggunaannya. Bank dan perusahaan FinTech juga dapat berkontribusi dengan menawarkan aplikasi edukasi keuangan yang ramah anak, seperti fitur budget tracking yang sederhana dan mudah dipahami.
Dengan kombinasi regulasi, edukasi, dan kesadaran finansial sejak dini, Gen Alpha tidak hanya akan menjadi pengguna teknologi yang mahir, tetapi juga menjadi generasi melek keuangan dan melek teknologi ekonomi digital yang lebih bijak dalam mengelola keuangan di era cashless society.
Kesimpulan
Jadi, maksud dari ekonomi tanpa uang fisik dalam konteks ini adalah pergeseran sistem transaksi dari penggunaan uang tunai ke metode pembayaran digital seperti e-wallet, QRIS, dan mobile banking. Perubahan ini mengarah ke era cashless society yang lebih praktisdan efisien, tetapujuga membawa tantangan dalam melek literasi keuangan generasi muda.
Cashless society membawa perubahan yang signifikan pada ekonomi global dan pola transaksi. Gen Alpha memiliki keunggulan dalam adaptasi teknologi karena mereka lahir pada masa digitalisasi keuangan, namun mereka juga memiliki risiko mengalami krisis literasi keuangan. Oleh karena itu, kebijakan moneter perlu dikalibrasi untuk memastikan dapat menyeimbangi edukasi finansial yang memadai, tidak hanya mendorong penggunaan transaksi non-tunai. Dengan cara ini, generasi berikutnya tidak hanya akan belajar menggunakan teknologi, tetapi juga menjadi individu yang cerdas dalam mengelola keuangan dan mereka siap menghadapi masadepan yang semakin terdigitalisai.
Ditulis oleh Safa Nabilla Brilian Wihardi (PE 2023 I)
Referensi :
Bionducci, L., Botta, A., Bruno, P., Denecker, O., Gathinji, C., Jain, R., Nadeau, M.-C., & Sattanathan, B. (2023). The 2023 McKinsey Global Payments Report shines a light on a changing industry and explains how banks and others can capitalize on new dynamics. McKinsey & Company.
Chen, J., Mahajan, D., Nadeau, M.-C., & Varadarajan, R. (2023). Consumer digital payments: Already mainstream, increasingly embedded, still evolving. McKinsey & Company.
Haryono, E. (2024). Bank Indonesia Luncurkan Laporan Perekonomian Indonesia 2023. Bank Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan. (2023). Statistik Fintech Lending 2023.
Katadata. (2023). Transaksi Digital Banking Capai Rp5,1 Kuadriliun pada Agustus 2023.
Arga Adrian, Gede. (2024). Bank Digital: Manis di Depan, Amankah di Belakang?. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
https://www.freepik.com/free-photo/person-paying-using-nfc-technology_34226449.htm#fromView=search&page=1&position=21&uuid=d4719b55-9bb3-4212-a1ec-ae111b50b39f&query=cashless+payment